Di sebuah kampung, ada seorang pak tani yang memiliki lahan persawahan yang lumayan luas. Petak sawahnya ada sepuluh lokasi, dan setiap lokasi luas areal persawahannya tak kurang dari 500 m2.
Suatu ketika, dia merasakan kesenangan yang tak terhingga dimana kesepuluh lahan pertaniannya itu sedang menguning pertanda sudah mulai bisa untuk di panen. Demikian senangnya dia, sampai-sampai dia agak merasa sayang kalau padinya di panen buru-buru. Dan untuk mengabadikan momentum yang penuh kebahagiaan tersebut, bahkan dia berencana menyelenggarakan pesta panen, dimana dia akan mengadakan upacara dan ritual panen yang berbeda dari biasanya. Maka dikumpulkanlah para anggota keluarga terdekat, dibuatlah panitia kecil-kecilan dan mereka pun berdiskusi dengan alot untuk menentukan kapan waktu panen yang paling pas?. Ada yang mengusulkan sesegera mungkin mengingat cuaca terkadang susah ditebak, ada yang mengusulkan hendaknya dicari hari baiknya di bulan ini, bahkan ada juga yang mengusulkan sekaligus ditunggu bulan depan karena secara hitungan hari baik bulan baik dia, maka bulan depan adalah waktu yang sangat cocok. Akhirnya sang empunya gawe, setelah menimbang, mengingat dan memperhatikan berbagai saran dan masukan panitia kecil, pak tani memutuskan untuk menunggu bulan depan untuk memanen padinya dalam upacara yang lain dari biasanya.
Niatnya pak tani dan kawan-kawannya sih mungkin baik dan bagus sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa bahagia. Tapi mereka lupa akan hal-hal lain yang diluar kekuasaan dan otoritasnya. Apa yang terjadi kemudian?. Lima hari menjelang waktu yang ditentukan, terjadilah badai dan hujan lebat yang belum pernah terjadi sehebat itu di desa mereka. Dan pada H-3, datanglah bencana yang tak pernah diharapkan sebelumnya, hujan yang sudah turun selama dua hari membuat kawasan pegunungan tak mampu menahan rapuhnya sebagian bukit, batu dan tanah perbukitan pun terlepas dari ikatannya, longsor tak tertahankan menggelinding dan mengalir kencang ke arah yang lebih rendah. Air besar yang berwarna coklat, berisikan batu dan tanah gunung itu membanjiri dan merusak hampir semua kawasan persawahan, juga merobohkan beberapa rumah masyarakat desa yang kurang permanen dan sudah tua. Sawah pak tani yang tadinya menguning dengan untaian-untaian padi yang tersusun indah, kini berubah menjadi kolam coklat berisi batu dan kerikil gunung. Longsor itu telah memupus harapan dan kebahagian pak tani beserta anggotanya. Mereka hanya bisa berencana, tampaknya Tuhan berkehendak lain.
Apa hikmah sederhana yang bisa kita ambil dari cerita di atas?. Bahwa sebetulnya, semua hari adalah baik, dan jika kita masih diberi kesempatan mengerjakannya segera, kenapa mesti kita tunda berlama-lama?. Bukankah kita diharuskan untuk menyegerakan sebuah pekerjaan sebelum kita mengerjakan pekerjaan berikutnya?. Hari ini adalah hari yang masih bisa kita miliki, dan masa lalu beserta masa depan adalah sepenuhnya milik Yang Maha Kuasa. Jika selama ini kita dihadapkan kepada sebuah kekuatan dan kemampuan yang cukup untuk mengerjakan sesuatu yang positif, mengapa kita harus menundanya besok atau minggu depan?. Jika kita hari ini memiliki peluang untuk memperbaiki diri dan perjalanan hidup kita, kenapa harus menunggu hari lain yang kita anggap lebih baik untuk memulainya?.
Menunda sesuatu sama saja dengan menambah kemungkinan ketidakpastian akan terjadinya sesuatu itu.
Sumber :
3 Positif Paradigma
Artikel yang lain :
Dilema
Menilai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar