Pencarian

Respect is The Heart of Knowledge

Bocah Belajar


Di sebuah malam, seorang anak duduk di dekat meja terbuat dari kayu kelapa yang sudah tua. Ia sedang menulis di antara cahaya lembut lampu templok yang warna kuningnya terlihat berlarian kesana-kemari karena terpaan angin tepi pantai. Dia hanya seorang bocah kumal berkulit gelap dengan rambut keriting. Dan ia baru saja makan malam dengan sagu dan daun pepaya yang dikeringkan. Hanya itu saja. Tapi malam itu dengan pensil di tangan, ia menulis...


Sekolahku diterangi oleh sinar guruku, pelitanya tampak setiap waktu.
Jika saat ini aku bisa mempelajari sesuatu, maka itu tak lepas dari perhatianmu.
Bila kuingat mutiara di tepian pantai, maka kan kukenang raut dan senyum dirimu.
Andai hari ini aku bisa mengatakan sesuatu
maka jiwaku kan membisikkan kata bagai untaian doa...
Tuhan kupinta jaga dan kuatkanlah dia dalam terang-Mu selalu...

Dengan tulisan yang bisa dikatakan jauh dari rapi, bocah itu menulis kata-kata tersebut di halaman belakang buku tulis satu-satunya. Harapannya begitu besar. Ia ingin saat memeriksa PR-nya esok, sang guru bisa membaca tulisan tersebut.
Jika mengamati bocah itu sungguh tidak ada yang spesial. Dia bukan bintang kelas. Bukan calon Einstein selanjutnya. Jauh pula dari sebutan sebagai penerus kegeniusan dan kegelisahan Newton berikutnya. Tapi ia mempunyai hati dari keindahan ilmu pengetahuan. Bocah itu memiliki rasa hormat.

Rasa hormat adalah esensi pengetahuan. Roh yang memberi pengetahuan tetap berada di jalannya... Agar bermanfaat bagi kehidupan... Rasa hormat pulalah yang memberikan semangat kepada pemikir-pemikir hebat untuk terus mengembangkan pengetahuan dan berusaha memecahkan tantangan dan masalah yang ada. Baik rasa hormat kepada ilmu pengetahuan itu sendiri, maupun rasa hormat kepada orang-orang yang telah membawa mereka sampai pada suatu titik tertentu. X tak sama tanpa Y. Begitu pula seorang murid tak akan mampu membaca dan menulis tanpa mempunyai orang lain yang mendorongnya untuk bisa.

Setelah merasa senang sudah menuliskan apa yang ia rasakan, anak itu kemudian melangkah ke kebun belakang rumahnya. Dengan memicingkan mata, ia berusaha menjangkau diantara pohon Pisang. Kebun itu sungguh tak seberapa luas. Tapi dengan rasa syukur yang luar biasa, kebun itu sudah dirasa cukup menambah penghasilan keluarga bocah itu.

Dengan cermat dan semaksimal yang ia bisa, anak itu memilih beberapa tandan Pisang yang tampak mulai matang. Ia berencana membawanya esok hari. Dengan ditumpuk di atas kulit padi yang sudah kering semalaman. Biasanya pisang yang masih kehijauan akan matang di keesokkan harinya.

Kemudian tanpa ada rasa konflik kepentingan, tanpa tendensi apapun, ia meletakkan tandan Pisang yang sudah dipilih itu dengan rasa harap-harap cemas. Semoga warna kuning menjadi warna keberuntungannya esok hari.
Bocah itu dan ide pisang sebenarnya hanya refleksi kecil perasaan ingin berbagi. Bocah itu ingin berbagi dengan teman-teman di kelasnya. Ia ingin memberi sesuatu kepada Tono yang meminjamkan penggaris. Kepada Astri yang mengajarinya aritmatika sederhana. Kepada Harun yang sudah mau berbagi tempat duduk dengannya. Ia hanya ingin berbagi atas kebahagiannya mendapat anugerah di kelilingi oleh teman-temannya di kelas.

Mungkin, jika bocah itu sudah dewasa ia akan menyadari bagaimana rasa hormat kepada satu sama lain telah menjadi hal yang langka di dunia yang makin metropolis, kapital dan individualis. Saat rasa syukur atas nikmat ilmu pengetahuan sudah diperdagangkan dan menjadi komoditas.

Bagi saya, menulis kisah ini memberi letupan warna-warni di hati. Sebuah metafor yang sangat sederhana. Bocah ini dengan segala keterbatasan penciptaan, merasa sangat bahagia telah diajarkan oleh teman-temannya banyak hal. Apapun itu.
Bocah ini ingin menghargai orang lain dengan cara terbaik yang bisa ia berikan. Ia tak akan merasa lebih pintar dan lebih terang di banding orang lain. Ia akan memanggul tandan pisangnya saat fajar menjelang. Dan berjalan melalui hamparan pantai dan karang sejauh delapan kilometer menuju sekolahnya. Hidup di pinggir pantai, memberi pemahaman luar biasa kepada bocah itu. Bahwa bagi Tuhan, tiap orang adalah bintang-Nya. Siapapun memiliki pijar bintang mereka masing-masing.

... Kata mungkin bisa diucapkan tapi tak kan seindah tinta emas yang ditulis langsung dari hati. Sejauh apapun bocah itu akan melangkah, sejauh apapun mimpi dan semangatnya kelak, dia akan selalu menumpuk budi guru dan teman-temannya di tiap kedewasaannya ...

Sumber:
By Heidy Arviani, 11 Maret 2009-23.00 WIB
(Semoga hati dari ilmu pengetahuan selalu bersemayam di hatiku...)

Artikel yang lain :
Arti Ketekunan
10 Perspektif Masalah

Tidak ada komentar: